Membidani Sekolah Baru: Mulai dari Titik Nol Minus
Ary Mugiasih
Salah satu hikmah sebagai guru berprestasi tingkat nasional, saya diminta untuk membidani lahirnya Taman Kanak-Kanak Negeri 6 (TKN 6) Kota Bekasi. Lokasinya berada di Kecamatan Jati Asih. Gedung yang digunakan adalah bekas kantor UPTD SD di salah satu Kecamatan.
Tentu tidak mudah membidani lahirnya sekolah baru. Semua harus dimulai dari nol. Bahkan nol minus! Mengapa saya sebut nol minus? Karena masih ada beberapa persoalan nonteknis yang harus diselesaikan ketika saya hendak melangkah.
Persoalan pertama adalah status gedung yang ditinggalkan. Pegawainya sudah pindah ke gedung baru yang lebih bagus.
Namun, meski sudah pindah, gedung lama tersebut masih saja dimanfaatkan sehingga saya sulit untuk memulai. Ada semacam “berat hati” mereka menyerahkan gedung tersebut, meski sebenarnya masih sama-sama dalam satu instansi. Ketidakrelaan ini karena lokasi yang akan dijadikan TK Negeri 6 ini lebih luas dari gedung dan halaman parkirnya.
Maka ketika saya hendak mengeksekusi dan menatanya, saya seolah-olah mendapat hambatan. Arsip-arsip dan peralatan lainnya yang menggunung, tidak juga diangkut. Semua fasilitas dicabut. Listrik mati, air tidak ada. Gedungnya sudah tua dan keropos dibiarkan begitu saja.
Persoalan kedua adalah keberatan dari sekolah Taman Kanak-kanak yang berada di sekitar lokasi. Mereka khawatir muridnya berkurang dengan kehadiran TKN 6. Mereka pun mendatangi Dikdas kota meminta penangguhan atau pembatalan.
Persoalan ketiga dan ini yang paling urgen, yaitu soal dana. Saya disuruh “jalan dulu” karena belum ada. Anggaran baru akan turun pada tahun berikutnya.
Ini tentu tidak mudah, sementara tahun ajaran baru sudah semakin dekat. Saya hampir-hampir tidak mempunyai waktu untuk menyosialisasikan TKN 6 kepada masyarakat.
Kalau masyarakat tidak tahu, dari mana saya akan mendapat murid? Saya pun belum bisa bikin brosur dan memasang spanduk.
Tekad Bulat
Namun, dengan tekad yang bulat dan semangat yang tak pernah kendor saya melangkah. Saya optimis sekolah baru yang saya rintis akan maju. Saya akan mengimplementasikan ilmu yang saya peroleh selama ini. Baik pengalaman sebagai kepala sekolah di sekolah yang lama, maupun pengalaman melakukan studi banding ke luar negeri, yakni ke Jepang dan Thailand yang saya peroleh sebagai hadiah kepala sekolah berprestasi tingkat nasional.
Persoalan pertama akhirnya teratasi setelah pimpinan saya di Dikbud Kota Bekasi turun langsung. Saya pun mulai menata ruangan membersihkan, mengecat dan sebagainya dengan biaya sendiri. Namun, sampai hari ini masih ada gundukan arsip yang belum dibawa, yang memenuhi hampir dua ruangan. Tetapi alhamdulillah, untuk sementara ruangan bermain anak-anak sudah ada.
Persolan yang kedua, pimpinan saya di Dikbud Kota mengambil jalan tengah. Untuk tahun pertama, sekolah saya hanya diperbolehkan menerima murid paling banyak 30 anak saja.
Sedangkan persoalan ketiga, inilah yang berat. Untuk memulai proses belajar mestilah ada sarana dan prasarananya. Sementara dananya belum ada. Dana baru turun tahun berikutnya.
Untunglah saya didampingi oleh dua orang guru yang hebat dan cekatan. Mereka mengerti kondisi sekolah yang sebenarnya. Mereka adalah guru hebat, pekerja keras, dan bersedia berjuang mati-matian untuk membesarkan sekolah. Alhamdulillah kami satu visi, sama-sama mempunyai keinginan untuk maju. Ingin membesarkan sekolah menjadi sekolah percontohan. Ingin menepis image sekolah negeri tidak mau berinovasi.
Untuk menata dan membersihkan ruangan, saya pun sampai meminta tolong kepada suami saya, yang kebetulan lagi cuti. Untuk menyalakan listrik dan menata jaringan (instalasinya), saya dibantu oleh suami salah seorang guru. Suaminya itu kebetulan memang jago di bidang itu. Untuk sarana bermain anak, yakni seluncuran dan bekas juga kami diusahakan secara mandiri. Sementara untuk menata ruangan kami bekerja keras, dari pagi sampai sore, karena kami sudah dikejar waktu.
Hari Pertama yang Menegangkan
Alhamdulillah semuanya teratasi. Meski waktunya sangat sempit, tapi kuota yang diberikan oleh pimpinan terpenuhi, bahkan saya harus menolak beberapa anak. Ruangan bermain, baik indoor (dalam ruangan) maupun outdoor atau halaman sudah tertata dengan baik, meski alat bermain seadanya. Gedung yang tadinya kusam dan rapuh kini sudah “kinclong” pagarnya juga sudah dicat. Bahkan seragam murid baru pun sudah siap sebelum hari pertama dimulai.
Semuanya adalah swadaya saya bersama guru-guru yang memang hebat dan cekatan, yang siap berjuang bersama-sama membesarkan TKN 6 Kota Bekasi ini.
Ada pengalaman menarik saya di hari pertama anak-anak masuk sekolah. Saya sebenarnya sudah berangkat dari rumah pada pukul 05.30 WIB. Tetapi, saya harus absen (finger) dulu di tempat yang lama (absensi saya masih belum pindah). Setelah absensi di tempat lama, saya baru meluncur ke sekolah.
Hal yang tidak saya duga sama sekali terjadi. Jalanan macet luar biasa, yang membuat saya hampir stres. Saya baru menyadari, ini adalah hari pertama sekolah, yang tentu saja orang tua murid juga ikut mengantar anak-anaknya.
Simpul kemacetan terakhir terdapat di SDN yang tidak jauh dari sekolah saya. Karena di situ berkumpul tiga sekolah. Mobil yang saya tumpangi terjebak dan tidak bisa bergerak sama sekali di tengah kerumunan “mak-mak” milenial, yang mengantar anaknya. Motor mereka yang parkir tak beraturan di sepanjang jalan membuat suasana benar-benar sumpek. Maklum itu bukanlah jalan utama, melainkan jalan lingkungan yang sempit.
Akhirnya saya turun menerobos kerumunan mak-mak milenial itu dan berjalan kaki menuju sekolah. Untungnya guru-guru saya yang lain sudah sampai duluan, sehingga anak-anak tidak seperti "ayam kehilangan induk" di tempatnya yang baru.
Alhamdulillah hari pertama di sekolah saya berjalan meriah, murid baru dengan seragamnya yang keren tampak senang bermain dengan sarana bermain seadanya. Orang tua mereka juga tampak gembira dan bangga. Mereka memuji fasilitas dan kreativitas kami yang “menyulap” bangunan lama menjadi sarana bermain yang menarik.
*Ary Mugiasih adalah Kepala Sekolah TK Negeri 6 Kota Bekasi