Ditolak Penerbit
Eko Prasetyo
Naskah buku Jangan Cuma Pintar Menulis saya selesaikan pada 2012. Dalam waktu dua tahun, naskah itu ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Tidak hanya sekali, tapi enam kali.
Saat itu menerbitkan buku sendiri belum sepopuler sekarang. Bagi sebagian orang, self publishing dianggap tidak bergengsi dan prestisius. Nah, naskah tersebut mengajarkan orang untuk berani menerbitkan buku sendiri. Mungkin inilah yang membuat penerbit menolaknya.
Karena tak ingin mengalami penolakan kesekian, saya berencana menerbitkannya sendiri pada pengujung 2014 yang basah. Awal 2015 buku itu terbit sederhana. Tebalnya hampir 300 halaman.
Buku itu ternyata menemukan momentumnya ketika gerakan sagusabu (satu guru satu buku) menasional. Yang saya tahu, buku tersebut juga menginspirasi banyak pembacanya untuk berani mencoba self publishing. Termasuk membuat penerbitan indie sendiri.
Ketika ditanya oleh reporter majalah Unesa tentang buku yang paling berkesan buat saya, ya saya jawab terus terang: Jangan Cuma Pintar Menulis. Sebab, prosesnya berliku serta penuh perjuangan dan pengorbanan. Secara keuntungan finansial, buku ini mencatat prestasi yang biasa-biasa karena profitnya tak sampai Rp800 juta meski sudah berkali-kali cetak. Namun, kebahagiaan itu hadir lantaran banyaknya pembaca yang terinspirasi dengan buku tersebut.
Sebagai informasi, novelis kondang sekelas Dan Brown saja pernah mengalami penolakan menyakitkan dari penerbit. Naskahnya yang berjudul The Da Vinci Code ditolak. Yang terjadi berikutnya ialah selama kurun 2003–2006 novel itu diterbitkan dan telah dicetak 60,5 juta eksemplar.
Di sinilah saya benar-benar merasakan bahwa sukses itu ialah pilihan. Pilihan pertama: Kita bisa memilih untuk berhasil dengan menaklukkan tantangan yang ada. Pilihan kedua: kita bisa memilih untuk gagal karena tak cukup punya keberanian menjawab tantangan.
* Eko Prasetyo adalah Pemred MediaGuru